Menghidup-hidupkan hari
Date: 13-02-13 02:14Sekarang sedang musim Valentine Day. Saya belum pernah membaca bahasannya dari rekan-rekan Kristiani tetapi dari rekan-rekan Muslim banyak yang mempermasalahkannya. Bagaimana sebenarnya hari-hari khusus itu bisa hidup atau dihidup-hidupkan?
Banyak referensi yang membahas manusia sebagai mahluk sosial yang suka kumpul-kumpul, makan-makan, ngobrol-ngobrol, nyanyi-nyanyi, nari-nari, lomba-lomba serta yang tidak kalah sosialnya: tawuran dan unjuk rasa. Segala urusan dicari sifat uniknya untuk dijadikan sarana bersosialisasi semacam itu. Yang senang tentung saja pebisnis karena ada kerumunan ada uang.
Sepanjang bisa dikomersialkan, segala macam hari akan terus hidup dan dihidup-hidupkan. Hari lahir siapa/apa saja: 17 agustusan, maulidan lengkap dengan sekatennya, natalan, dan hari lahir perorangan dalam lingkup keluarga, dan masyarakat yang mengenalnya. Yang rame di Amerika akan dibawa pula oleh pebisnisnya untuk meramaikan Indonesia: halloween, valentine, dan mungkin suatu saat thanks giving.
Bisa saja kita tidak menyukai sesuatu karena bertentangan dengan kepercayaan/standar moral yang kita ikuti tetapi sepanjang sesuatu itu menghidupi sekelompok orang tertentu, maka kelompok itu akan berjuang untuk mengembangkan, minimal mempertahankannya. Bagaimana menyikapinya? Saya usul buat teman-teman muslim untuk menghindari melabel perayaan-perayaan itu sebagai haram, bidah, syirik dsb. Kalau gemes, konsentrasikan berkomentar pada perilaku terlarangnya dalam perayaan itu; bukan pada nama perayaannya. Tidak ada salahnya memberi teman permen coklat. Yang salah ada berkhalwat atau berhubungan layaknya suami istri untuk pasangan bukan suami istri.
Kirim Komentar
Powered by Waton CMS. Semua tulisan dan image yang ada di homepage ini adalah tanggung jawab Bambang Nurcahyo Prastowo kecuali: (a) diubah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, (b) secara eksplisit disebutkan rujukan sumber luarnya, atau (c) komentar, tanggapan dari pembaca.